Demokrasi Feodal
Yusmar Yusuf
Seni, ketika tiba di tangan pejabat atau penguasa, dia menjadi sederetan marching band. Sebuah fenomena baris-berbaris yang dikebat dalam ukuran protokoler yang dikonstruksi oleh pribadi yang kaku. Maka turunlah sejuluran perintah bak kisah baris-berbaris dan menghukum seni yang mengalir menjadi sesuatu yang terpetak-petak. Dan bukan itu semata, para bupati mempersepsikan kesenian itu adalah hidangan mata dan telinga yang disuguhkan dalam kaidah serba istana sentris.
Mereka duduk dalam posisi perjamuan istana, diletakkan di posisi tengah, sementara rakyat menjadi penonton di pinggir kawasan gelap gulita. Selain disuguhkan penampilan seni atas panggung, rakyat yang berkerumun dalam gulita itu menonton segala kemilau yang dikenakan oleh para pejabat hasil dari “rampasan” atau bahkan “rompakan” waktu dan ruang yang sejatinya menjadi hak milik perdana masyarakat atau rakyat jelata. Demikianlah hari ini, demokrasi Indonesia telah membesarkan fetus feodalisme di tingkat kabupaten kota. Para bupati atau walikota berpenampilan serba istana sentris. Senang menerima laporan pintas yang sebenarnya hanya setingkat informasi untuk joke atau berkelakar saja.
Info-info sampah dikemas kemudian menjadi info bunga. Beginilah kelas bupati kita hari ini. Sehari-hari berpura-pura sebagai pribadi dengan pemikiran luar kotak (out of box) tapi kenyataannya tak lebih dari perilaku raja yang zalim. Bertindak dan berkata sewenang-wenang, gila berpesiar ke benua-benua jauh. Sebelum duduk sebagai bupati, sibuk menghujat para bupati yang berperilaku menghambur-hamburkan duit hanya untuk sebuah persiaran menenteng paspor biru dengan alasan mencari calon investor.
Anehnya pada hari ini sang bupati feudal ini pula yang ketagihan meninggalkan negeri yang dipimpin, melakukan perjalanan ke tanah-tanah jauh, tak kenal waktu dan tak kenal musim. Dana rakyat yang dititip dalam kepundan APBD sejatinya dikembalikan ke rakyat melalui saluran-saluran resmi dengan mengikut ketentuan hukum, malah dianggap sebagai harta warisan datuk nenek dia sendiri, sehingga rakyat tak boleh dan tiada hak menggunakannya. Yang berhak menggunakan anggaran adalah pemerintah. Yang membuat inisiatif apapun bentuknya adalah pemerintah. Rakyat hanya sebagai penonton pasif semata. Pemimpin jenis apakah ini?
Feodalisme itu sedang mengepung kita dan menggeranyangi sendi-sendi sosial kemasyarakatan. Ketika pesta buah dalam satu event pariwisata, sang pejabat menerjemahnya menjadi; “rakyat berkerumun bak peristiwa bazar di sebuah lapangan atau pangkal pelabuhan berjualan, menyerbu calon pembeli. Bila perlu rakyat menyuguhkan segala buah dan perkakasnya di atas meja sang pejabat, gratis pula”. Sejatinya, pesta buah di musim buah hendaklah didatangi ke plaza buah bernama kebun-kebun rakyat sambil bercengkerama, bersilaturahim, mendengar segala keluh kesah masyarakat, seraya mengembangkan seni dan segi wisata agro atau pun eko-wisata yang dilaung-laungkan itu. Inilah mental feodal yang telah menyerang para pejabat negeri ini. Dan negeri ini tengah mengalami demam feodalisme gaya baru.
Feodalisme itu ialah segi sosial yang melumpuhkan merit society. Anak-anak yang unggul tidak akan pernah muncul dalam masyarakat feudal. Sebab, feodalisme sangat dekat dengan nepotisme, mengurus anggota keluarga dan kerabat dekat. Anak-anak unggul di sekolah yang berada di kampung-kampung akan tetap tersadai dalam kemiskinan, sebab mereka akan digantikan oleh segala kaum dan puak yang berasal dari kaum kerabat yang dekat dengan para pejabat. Sehingga pemerintahan hari ini tak lebih dari sebuah organisasi yang mengurus kepentingan kaum kerabat, para pengangkat telor, pengampu dan mereka yang bermental rasuah. Feodalisme itu jauh dari kontrol rakyat. Sebuah sistem yang tak mengenal kontrol atau kawalan masyarakat, cenderung korup.
Negeri yang diteraju oleh pemimpin bermental petualang, akan bernasib malang. Uang boleh disebut banyak, namun penggunaan anggaran tidak akan efektif dan tidak memberi kesan sosial yang lebih tajam kepada rakyat, ketika sang pemimpin mulai ketagihan berpesiar keluar negeri dan meninggalkan negerinya hingga satu bulan. Apa jadi, sebuah rumah yang ditinggalkan tuannya dalam masa yang amat panjang dan lama? Sekaya apapun sang pemilik rumah itu, tetaplah kekayaan ini akan disalah-gunakan para penghuninya dalam gelombang nafsu-nafsi, karena dia tidak dikawal sang kepala rumah tangga. Bakal karamkah negeri seperti ini? Tetap tidak akan karam, karena masyarakatnya memiliki self defence secara natural. Namun, tak ada gunanya pemerintah di situ. Tanpa pemerintah pun, masyarakat tetap membangun dan menjaga kestabilan dalam kaidah-kaidah homeostasis (ada kemajuan dalam kemunduran).
Kita tak sadar bahwa feodalisme yang kita benci, bersamaan dengan kelahiran dan kehadiran demokrasi. Dan kita, anak-anak kita yang lahir bersamaan dengan demokrasi itu, bukan sekumpulan ‘manusia kerbau’ yang tak bisa melawan. Kekuasaan itu cenderung mendorong orang menjadi sombong dan lupa. Dan kelupaan itu hanya menjelang jatuh dan terjungkal. Kalau pun dia tak jatuh terjungkal, pekerjaan pemimpin ini tak memperoleh restu dari rakyat. Dia hanya berbekal restu dari sekumpulan bawahan yang korup.
Dan sehari-hari kita menyaksikan dan menertawai para koruptor, sang feudal dan penguasa zalim yang tampil dalam baliho gergasi yang menyeringai bak drakula. Mereka hanya manis tampil di baliho dan spanduk, sebuah pembawaan orang-orang yang gagal dan kalah ketika berdepan dengan rakyat secara nyata. Kekalahan berdepan dengan kenyataan inilah yang mendorong mereka tampil manis bak selebritas yang membuat amalgamasi dan famorgana. Pada orang-orang jenis ini, tak perlu hormat dan salut disuguhkan oleh rakyat. Mereka tak lebih dari sampah masyarakat yang dikemas dalam “kerapian-kerapian” populis menurut kaidah-kaidah kebudayaan pop. Tak lebih dari sosok pemimpin musik pop murahan. Ya, feodal itu lah… he he he.***
Berita Terkini @2011
Yusmar Yusuf
Seni, ketika tiba di tangan pejabat atau penguasa, dia menjadi sederetan marching band. Sebuah fenomena baris-berbaris yang dikebat dalam ukuran protokoler yang dikonstruksi oleh pribadi yang kaku. Maka turunlah sejuluran perintah bak kisah baris-berbaris dan menghukum seni yang mengalir menjadi sesuatu yang terpetak-petak. Dan bukan itu semata, para bupati mempersepsikan kesenian itu adalah hidangan mata dan telinga yang disuguhkan dalam kaidah serba istana sentris.
Mereka duduk dalam posisi perjamuan istana, diletakkan di posisi tengah, sementara rakyat menjadi penonton di pinggir kawasan gelap gulita. Selain disuguhkan penampilan seni atas panggung, rakyat yang berkerumun dalam gulita itu menonton segala kemilau yang dikenakan oleh para pejabat hasil dari “rampasan” atau bahkan “rompakan” waktu dan ruang yang sejatinya menjadi hak milik perdana masyarakat atau rakyat jelata. Demikianlah hari ini, demokrasi Indonesia telah membesarkan fetus feodalisme di tingkat kabupaten kota. Para bupati atau walikota berpenampilan serba istana sentris. Senang menerima laporan pintas yang sebenarnya hanya setingkat informasi untuk joke atau berkelakar saja.
Info-info sampah dikemas kemudian menjadi info bunga. Beginilah kelas bupati kita hari ini. Sehari-hari berpura-pura sebagai pribadi dengan pemikiran luar kotak (out of box) tapi kenyataannya tak lebih dari perilaku raja yang zalim. Bertindak dan berkata sewenang-wenang, gila berpesiar ke benua-benua jauh. Sebelum duduk sebagai bupati, sibuk menghujat para bupati yang berperilaku menghambur-hamburkan duit hanya untuk sebuah persiaran menenteng paspor biru dengan alasan mencari calon investor.
Anehnya pada hari ini sang bupati feudal ini pula yang ketagihan meninggalkan negeri yang dipimpin, melakukan perjalanan ke tanah-tanah jauh, tak kenal waktu dan tak kenal musim. Dana rakyat yang dititip dalam kepundan APBD sejatinya dikembalikan ke rakyat melalui saluran-saluran resmi dengan mengikut ketentuan hukum, malah dianggap sebagai harta warisan datuk nenek dia sendiri, sehingga rakyat tak boleh dan tiada hak menggunakannya. Yang berhak menggunakan anggaran adalah pemerintah. Yang membuat inisiatif apapun bentuknya adalah pemerintah. Rakyat hanya sebagai penonton pasif semata. Pemimpin jenis apakah ini?
Feodalisme itu sedang mengepung kita dan menggeranyangi sendi-sendi sosial kemasyarakatan. Ketika pesta buah dalam satu event pariwisata, sang pejabat menerjemahnya menjadi; “rakyat berkerumun bak peristiwa bazar di sebuah lapangan atau pangkal pelabuhan berjualan, menyerbu calon pembeli. Bila perlu rakyat menyuguhkan segala buah dan perkakasnya di atas meja sang pejabat, gratis pula”. Sejatinya, pesta buah di musim buah hendaklah didatangi ke plaza buah bernama kebun-kebun rakyat sambil bercengkerama, bersilaturahim, mendengar segala keluh kesah masyarakat, seraya mengembangkan seni dan segi wisata agro atau pun eko-wisata yang dilaung-laungkan itu. Inilah mental feodal yang telah menyerang para pejabat negeri ini. Dan negeri ini tengah mengalami demam feodalisme gaya baru.
Feodalisme itu ialah segi sosial yang melumpuhkan merit society. Anak-anak yang unggul tidak akan pernah muncul dalam masyarakat feudal. Sebab, feodalisme sangat dekat dengan nepotisme, mengurus anggota keluarga dan kerabat dekat. Anak-anak unggul di sekolah yang berada di kampung-kampung akan tetap tersadai dalam kemiskinan, sebab mereka akan digantikan oleh segala kaum dan puak yang berasal dari kaum kerabat yang dekat dengan para pejabat. Sehingga pemerintahan hari ini tak lebih dari sebuah organisasi yang mengurus kepentingan kaum kerabat, para pengangkat telor, pengampu dan mereka yang bermental rasuah. Feodalisme itu jauh dari kontrol rakyat. Sebuah sistem yang tak mengenal kontrol atau kawalan masyarakat, cenderung korup.
Negeri yang diteraju oleh pemimpin bermental petualang, akan bernasib malang. Uang boleh disebut banyak, namun penggunaan anggaran tidak akan efektif dan tidak memberi kesan sosial yang lebih tajam kepada rakyat, ketika sang pemimpin mulai ketagihan berpesiar keluar negeri dan meninggalkan negerinya hingga satu bulan. Apa jadi, sebuah rumah yang ditinggalkan tuannya dalam masa yang amat panjang dan lama? Sekaya apapun sang pemilik rumah itu, tetaplah kekayaan ini akan disalah-gunakan para penghuninya dalam gelombang nafsu-nafsi, karena dia tidak dikawal sang kepala rumah tangga. Bakal karamkah negeri seperti ini? Tetap tidak akan karam, karena masyarakatnya memiliki self defence secara natural. Namun, tak ada gunanya pemerintah di situ. Tanpa pemerintah pun, masyarakat tetap membangun dan menjaga kestabilan dalam kaidah-kaidah homeostasis (ada kemajuan dalam kemunduran).
Kita tak sadar bahwa feodalisme yang kita benci, bersamaan dengan kelahiran dan kehadiran demokrasi. Dan kita, anak-anak kita yang lahir bersamaan dengan demokrasi itu, bukan sekumpulan ‘manusia kerbau’ yang tak bisa melawan. Kekuasaan itu cenderung mendorong orang menjadi sombong dan lupa. Dan kelupaan itu hanya menjelang jatuh dan terjungkal. Kalau pun dia tak jatuh terjungkal, pekerjaan pemimpin ini tak memperoleh restu dari rakyat. Dia hanya berbekal restu dari sekumpulan bawahan yang korup.
Dan sehari-hari kita menyaksikan dan menertawai para koruptor, sang feudal dan penguasa zalim yang tampil dalam baliho gergasi yang menyeringai bak drakula. Mereka hanya manis tampil di baliho dan spanduk, sebuah pembawaan orang-orang yang gagal dan kalah ketika berdepan dengan rakyat secara nyata. Kekalahan berdepan dengan kenyataan inilah yang mendorong mereka tampil manis bak selebritas yang membuat amalgamasi dan famorgana. Pada orang-orang jenis ini, tak perlu hormat dan salut disuguhkan oleh rakyat. Mereka tak lebih dari sampah masyarakat yang dikemas dalam “kerapian-kerapian” populis menurut kaidah-kaidah kebudayaan pop. Tak lebih dari sosok pemimpin musik pop murahan. Ya, feodal itu lah… he he he.***
Berita Terkini @2011
0 Response to "Demokrasi Feodal"